Kalau Bank Hanya Fokus pada Margin Maka Masa Depannya Akan Segera Tertinggal

Efisiensi Sudah Tidak Cukup, Bank Harus Bergerak ke Arah Penciptaan Nilai

Selama bertahun-tahun, banyak bank di Indonesia mengandalkan strategi efisiensi untuk menjaga profitabilitas—memotong biaya, mengoptimalkan proses internal, dan menekan risiko operasional. Namun hari ini, kondisi sudah berubah. Data OJK per Februari 2025 mencatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga hanya 3%, jauh tertinggal dari pertumbuhan kredit yang mencapai 11%. Rasio Loan to Deposit (LDR) pun melonjak mendekati 90%, menandakan tekanan likuiditas yang mulai mengkhawatirkan.

Di titik ini, strategi mempertahankan margin dengan menekan biaya saja sudah tidak memadai. Dunia perbankan sedang memasuki fase koreksi struktural, di mana tekanan yang dihadapi bukan hanya siklus ekonomi, tetapi perubahan sistemik yang mendasar.

Risiko Kredit Tidak Lagi Bisa Dikelola dengan Logika Lama

Bank tidak bisa lagi mengandalkan model risiko berbasis prediksi historis. Meski NPL agregat turun ke 2,4%, tekanan justru datang dari sektor UMKM dan kredit konsumsi, dua segmen yang selama ini menjadi pendorong pertumbuhan. Daya beli kelas menengah tertekan, sementara volatilitas ekonomi global memperbesar ketidakpastian. Ini artinya: pendekatan terhadap risiko harus bertransformasi dari sekadar kalkulasi angka menjadi pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika perilaku, ketahanan sektor riil, dan potensi disrupsi teknologi.

Digitalisasi Jangan Hanya Jadi Proyek, Tapi Harus Mengarah ke Solusi Nasabah

Investasi digital di perbankan Indonesia belakangan ini luar biasa besar—dari aplikasi mobile hingga sistem cloud dan data analytics. Tapi satu pertanyaan krusial jarang ditanyakan: apakah semua ini benar-benar menciptakan nilai?

Baca juga: CIRO 2025: Orkestrasi Inovasi Korporat untuk Masa Depan Indonesia yang Lebih Kompetitif

Menurut BSSN, ada lebih dari 11 juta serangan siber yang menarget sektor keuangan sepanjang 2024. Ini bukan hanya isu keamanan, tapi cermin dari kegagalan desain tata kelola digital. Jika digitalisasi tidak diarahkan pada solusi nyata bagi nasabah, maka yang tersisa hanyalah tumpukan proyek mahal yang tidak berdampak signifikan.

Krisis Global Bukan Alasan untuk Pasif, Justru Momentum untuk Merancang Ulang Strategi

Ketegangan geopolitik, inflasi global, dan tingginya suku bunga di negara maju menekan pasar domestik. Rupiah terdepresiasi, arus dana asing keluar, dan risiko stagflasi membayangi. Namun dalam situasi seperti ini, organisasi yang tangguh justru muncul dari kemampuan membangun disiplin jangka panjang.

Bank harus masuk ke diskusi strategis seperti: bagaimana membangun ketahanan likuiditas dalam mata uang asing? Bagaimana mengurangi ketergantungan pada sumber dana tradisional? Dan bagaimana menyusun skenario makro yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan hari ini?

Baca juga: Inovasi di Industri Ritel Tak Butuh Ide Hebat, Tapi Eksekusi yang Terarah

Berpikir Inovatif Bukan Soal Ide Hebat tapi Soal Disiplin Organisasi

Inovasi tidak bisa lagi dianggap sebagai proyek atau agenda sampingan. Inovasi harus menjadi bagian dari DNA organisasi. Itu dimulai dari hal-hal mendasar:

• Sensitivitas terhadap blind spot

  Banyak masalah muncul karena kita tidak melihat perubahan sosial, preferensi generasi muda, atau ketimpangan akses digital sebagai sumber risiko masa depan.

• Sistem eksperimen yang aman dan terukur

  Di industri yang sangat diatur seperti perbankan, menciptakan sandbox internal untuk uji coba jadi keharusan.

• Apresiasi terhadap proses, bukan hanya hasil

  Inovasi bukan soal instan berhasil, tapi soal berani mencoba, belajar cepat, dan memperbaiki terus.

Kepemimpinan Adalah Penentu, Bukan Penonton

Transformasi tidak akan terjadi tanpa peran aktif pimpinan puncak. Dalam konteks hari ini, pemimpin bank harus punya keberanian untuk mengambil keputusan meski tidak sempurna. Mereka harus terbuka terhadap ide dari semua level organisasi dan berani meninggalkan pendekatan lama yang sudah tidak relevan.

Kepemimpinan inovatif bukan hanya soal arah, tapi soal memberi ruang untuk gagal dengan aman, dan bangkit dengan cepat.

Baca juga: Strategi Inovasi yang Relevan untuk Perusahaan Energi di Tengah Transisi Energi

Relevansi Jangka Panjang Dimulai dari Hari Ini

Bank yang hanya fokus mempertahankan margin hari ini, tanpa memperhatikan ketahanan jangka panjang, sedang menggali jurang sendiri. Masa depan dunia keuangan akan ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai baru—bukan hanya menjaga efisiensi lama.

Berpikir inovatif adalah jembatan untuk menyeberang ke masa depan. Dan jembatan itu hanya bisa dibangun oleh organisasi yang siap berubah mulai hari ini.

Ingin tim Anda mulai membangun kapasitas berpikir inovatif secara sistematis dan langsung praktik di tempat kerja?

Ikuti Innovative Thinking Workshop dari CIAS.

Workshop ini dirancang untuk karyawan di berbagai level—staf, manajer, hingga eksekutif—yang dihadapkan pada tantangan kompleks dan dinamis.

Melalui pendekatan yang kolaboratif dan aplikatif, peserta akan:

• Memahami tantangan secara lebih tajam

• Menggunakan teknik kreatif dalam merumuskan solusi

• Meningkatkan keberanian mengambil risiko yang diperhitungkan

• Meningkatkan produktivitas dengan pendekatan inovatif yang relevan

Anda akan berlatih langsung menggunakan kerangka kerja 3 langkah: Explore – Develop – Test & Refine, dan belajar menyelesaikan masalah nyata dalam tim.

Dipandu langsung oleh Dr. Indrawan Nugroho (CEO CIAS) dan Dr. (C) M. Taufik Mardian, MBA (COO CIAS), dua praktisi inovasi yang telah membantu transformasi lebih dari 150 perusahaan besar di Indonesia.

Daftarkan tim Anda sekarang di: https://www.cias.co/innovative-thinking-workshop