Kita hidup di dunia eksponensial. Sebuah dunia yang diisi dengan beragam lompatan perubahan di hampir setiap aspek kehidupan kita. Satu dekade lalu, kita tidak keberatan berpanas-panasan menunggu taksi di pinggir jalan. Berjam-jam mengantri di bank. Berputar-putar mencari parkir untuk bisa membeli barang di pusat perbelanjaan.
Kini tidak ada lagi yang mau mengalami itu. Hadirnya teknologi digital mengubah perilaku manusia untuk selamanya. Dengan satu ketukan jari di ponsel pintar, kita bisa dapatkan yang kita inginkan dimanapun dan kapanpun. Ekspektasi dan preferensi pelanggan berubah drastis. Kini pelanggan ingin semuanya serba lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih nyaman (more convenient).
Apapun produk atau layanan yang Anda tawarkan ke pelanggan masa kini harus memenuhi ketiga kriteria tersebut. Jika tidak, mereka akan segera berpaling pada yang bisa memenuhi ketiganya. Loyalitas pelanggan tidak lagi pada produk atau merek, melainkan pada diri mereka sendiri.
Bagi perusahaan yang mampu memenuhi ketiga itu, maka akan diganjar dengan perhatian, rekomendasi dan akhirnya uang yang terus mengalir, baik dari pelanggan langsung, pengiklan ataupun investor. Siapakah yang bisa memenuhi itu?
Baca juga: Cara INOVASI tanpa 'inovasi'
Siapa lagi kalau bukan anak-anak muda yang kenal betul dengan perilaku pelanggan saat ini. Mereka menguasai teknologi digital terkini dan punya semangat besar untuk mengubah dunia, untuk menunjukkan diri bahwa mereka lebih hebat dari generasi-generasi sebelumnya.
Mereka mendirikan perusahaan rintisan berbasis digital yang kemudian dengan bantuan investor tumbuh secara eksponensial. Perusahaan-perusahaan yang dikenal dengan sebutan Micro Multi-Nationals itu muncul semakin banyak dan semakin besar seperti jamur di musim hujan. Mereka mendisrupsi pasar-pasar yang mereka masuki dan menggeser pemain-pemain lama dari tahta yang mereka duduki selama beberapa dekade.
Para pemain lama tentu tidak tinggal diam. Mereka sadar akan ancaman para startup digital itu. Mereka kerahkan talenta terbaik mereka. Mereka pun mulai berinovasi. Hasilnya? Tetap saja gagal. Satu persatu toko mereka ditutup, hingga akhirnya mengajukan pailit alias bangkrut. Kok bisa?
Kita lihat dua contoh perusahaan di negeri ini. Contoh pertama adalah Disc Tarra. Siapa yang tidak tahu retailer musik legendaris Indonesia itu. Aquarius, pesaing utama Disc Tarra gulung tikar di tahun 2014. Menyadari bahwa dirinya juga bisa bernasib sama, maka Disc Tarra pun berinovasi. Mereka mengubah konsep tokonya, dari toko musik menjadi gerai gaya hidup.
Baca juga: Musuh Utama Inovasi Korporat
Selain desain gerainya dirombak total hingga menyerupai Starbucks, Disc Tarra menjual kopi di gerainya, menyediakan kursi dan sofa yang nyaman untuk pengunjung menikmati musik disitu. Namun ternyata inovasi itu tidak cukup untuk membuat pelanggan yang sudah terlanjur terbiasa membeli dan menyewa (subscribe) musik secara online untuk kembali membeli kepingan CD. Disc Tarra juga memiliki online music store. Namun sayang sepertinya itu upaya yang separuh hati, lagi pula sudah sangat terlambat.
Contoh yang kedua datang dari industri transportasi kota. Siapa bilang Blue Bird (BB) tidak berinovasi? BB adalah perusahaan taksi pertama yang menggunakan GPS dan sistem komunikasi canggih yang menghubungkan armada dengan kantor pusat. BB juga punya aplikasi online untuk pelanggan memesan taksi. Namun tetap saja BB kalah melawan gempuran jasa transportasi berbasis online seperti Grab dan Gojek.
Apa yang salah dengan mereka?
Kesalahan mereka adalah melakukan inovasi linear di dunia eksponensial. Ini adalah dunia dimana lebih baik dari sebelumnya itu tidak cukup. Dua kali lebih baik juga masih belum cukup. Mengutip semangat Google, kini kita harus menjadi 10 kali lebih hebat. Memberikan nilai pada pelanggan 10 kali lebih tinggi dari yang ditawarkan industri. Itulah eksponensial!
Para pemimpin di perusahaan-perusahaan incumbent (pemain lama di industri) berpikir dan bergerak secara linear menggunakan rumus-rumus keberhasilan yang telah mereka gunakan bertahun tahun dan terbukti bisa membawa mereka ke puncak pencapaian saat itu.
Sayangnya di era eksponensial ini, rumus-rumus itu tidak berlaku lagi. Teori-teori strategi bisnis sedang ditulis ulang. Para startup telah mengobrak-abrik aturan main yang ada. Wajar jika para pebisnis dan profesional veteran saat ini sedang galau tingkat dewa. Mereka seolah-olah baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang dan tidak mengenali dunia yang mereka lihat.
Baca juga: Utopia Kolaborasi di Perusahaan
Era eksponensial membutuhkan pemimpin eksponensial. Pemimpin yang berpikir dan bertindak secara eksponensial. Pemimpin yang bisa menggerakkan timnya untuk menghasilkan karya-karya eksponensial.
Seperti apakah Exponential Leader itu?
Jawabannya kita bahas di tulisan berikutnya ya. Ini sudah terlalu panjang tulisannya.
Sementara menunggu tulisan berikutnya, coba renungkan. Sudahkah Anda berinovasi pada bisnis Anda hari ini? Jika sudah, inovasi seperti apa? Linear atau eksponensial? Hanya dua kali lebih baik? Atau 10 kali lebih hebat dari para pemain lainnya?
Saatnya berpikir dan bergerak eksponensial.
sfsfdvdfvv