top of page

Melekatnya Budaya Inovasi pada Perilaku Karyawan, Bukan Pada Ritual

Updated: Mar 12, 2021

Ketika membayangkan perusahaan-perusahaan yang sangat inovatif, mungkin Anda juga membayangkan karyawannya melakukan kegiatan-kegiatan atau ‘ritual’ menarik yang menstimulasi atau memotivasi mereka untuk berinovasi. Ritual ini bisa sangat beragam di antar perusahaan. Sifatnya bisa untuk menstimulasi ide-ide baru, seperti ritual meeting ‘Braintrust’ ala Pixar di mana secara rutin diadakan meeting ‘bebas beropini’ untuk mendiskusikan film mereka. Ada juga ritual yang sifatnya merayakan upaya-upaya inovasi, seperti ‘Annual Failure Celebration’ yang dilakukan di Alphabet (parent company Google) untuk mengapresiasi eksperimen-eksperimen yang tidak berhasil. Pertanyaannya, apakah budaya melekat pada ritual-ritual tersebut? Atau pada perilaku di balik ritual-ritual tersebut?

group of employee sharing their idea

Ritual-ritual budaya inovasi dalam perusahaan-perusahaan besar, terutama tech giants dari Silicon Valley, memang kelihatannya sangat asyik ya. Banyak dari kita bisa jadi juga berpikir bahwa ritual-ritual tersebutlah yang membuat para perusahaan tersebut inovatif, dan mungkin bila ditiru ritual-ritualnya, perusahaan kita juga bisa menjadi inovatif. Pertanyaannya, apakah betul peran ritual sekuat itu? Kalau menurut pakar budaya organisasi, Edgar Schein, ritual itu ibaratnya seperti ‘puncak gunung es’ dari sebuah budaya inovasi.


Jadi menurut Schein, ritual merupakan salah satu artefak, yaitu aspek-aspek budaya yang sangat jelas terlihat tetapi tidak menggambarkan apa yang sebenarnya menjadi esensi budaya tersebut, contoh selain ritual adalah seperti poster-poster values atau slogan-slogan tertentu. Berarti apa yang menjadi gunung es yang jauh lebih besar di bawah permukaan? Yaitu pola perilaku. Jadi, Anda harus berhati-hati, bila hanya sekadar mempraktikkan ritual budaya inovasi tanpa ada dasar pola perilaku inovatif yang ingin dibentuk, ritual tersebut hanya akan menjadi formalitas atau ‘kosmetik’ yang tidak berdampak terhadap innovativeness sebuah perusahaan.


Kalau begitu, apa yang membedakan ritual-ritual di budaya inovasi para perusahaan inovatif seperti Pixar, Google, dan lainnya? Yang membedakan adalah bahwa budaya inovasi di perusahaan-perusahaan tersebut tidak melekat pada ritualnya, tetapi pada pola perilaku orang-orang yang menjalaninya. Artinya, ritual hanya menjadi sarana untuk mereka mengekspresikan pola perilaku yang sudah berusaha dibangun oleh perusahaan. Saya contohkan dengan Pixar, perusahaan yang sudah tidak diragukan lagi innovativeness-nya dalam teknologi dan seni pembuatan film animasi. Dalam buku Creativity Inc. karya Edwin Catmull yang mendetilkan tentang bagaimana karyawan-karywan di Pixar bekerja, teman-teman dapat membaca tentang ritual budaya inovasi mereka yang disebut ‘Braintrust Meeting’.


Dalam meeting tersebut, tim inti produksi suatu film dikumpulkan dengan beberapa karyawan pintar yang tidak terlibat dalam film tersebut untuk mendiskusikan hasil edit film yang masih in progress. Saat meeting, semua orang diperbolehkan untuk memberikan opininya apa adanya dan sejujur-jujurnya, seperti terkait apa yang disukai atau tidak disukai, apa yang perlu di-improve, dan lain-lain, dengan tujuan untuk memicu pemikiran-pemikiran inovatif demi mencapai excellence. Notes dari braintrust meeting inilah yang memunculkan berbagai inovasi dalam film Pixar, baik dari segi teknologi seperti cara menganimasikan pergerakan setiap 300 juta rambut pada karakter Sully di Monster Inc. mau pun dari segi kreatif seperti plot twist di akhir Toy Story 3 yang membuat hampir semua orang menangis, sehingga kita selalu puas dengan film Pixar.


Tetapi apakah ritual braintrust sukses begitu saja? Braintrust bisa sukses karena dalam budaya inovasi Pixar, sudah dibangun dengan kuat pola perilaku yang mengutamakan keterusterangan dan kesetaraan dalam proses inovasi, sehingga tidak ada istilah ‘tidak enakan’, ‘BAPER’, atau ‘harus ngikut’. Jadi bila Anda mengadopsi mekanisme braintrust dengan semua detilnya di perusahaan atau tim Anda, tetapi orang-orangnya belum terbiasa terus terang atau merasa setara, diskusi yang inovatif tetap saja akan sulit dicapai.


Jadi, mulai sekarang mari kita lebih kritis dalam menilai sebuah budaya inovasi, tidak hanya melihat ritualnya, tetapi pola perilaku yang menghidupkan ritual-ritual tersebut.


Baca juga:



Recent Posts

See All
bottom of page